Rabu, 07 Desember 2011

Menunggu Aturan Manajemen Risiko Bank Syariah

(Berita Daerah-Nasional) Bank Indonesia (BI) akan segera mengeluarkan aturan manajemen risiko (risk management) khusus bagi bank syariah yang ternyata lebih kompleks dari bank konvensional.

Dalam waktu dekat, BI akan segera merilis aturan tersebut.

Aturan yang nantinya tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini memuat 10 poin pengelolaan risiko bagi bank syariah berbeda dengan bank konvensional yang hanya 8 poin.

"Dalam waktu dekat, tinggal tunggu tandatangan Gubernur BI kami akan mengeluarkan ketentuan mengenai risk management perbankan syariah. Selama ini risk management perbankan syariah mengikuti konvensional. Nah sekarang akan kami pisahkan dan berdiri sendiri mencakup 10 poin," ungkap Direktur Direktorat Perbankan Syariah BI Mulya Siregar di Gedung BI, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (21/10/2011).

Perbankan syariah, sambung Mulya wajib mengelola 10 risiko penting. Delapan diantaranya adalah risiko yang sudah dikenal sebelumnya dalam risk management perbankan konvensional.

"Selain itu bertambah dua yaitu equity investment risk dan rate of return risk. Keputusan ini sesuai standar yang dikeluarkan oleh Islamic Financial Services Board (IFSB)," ujarnya.

Menurut Mulya, equity investment risk merupakan pengelolaan risiko bagi pembiayaan dengan sistem bagi hasil (profit and loss sharing), yang umumnya digunakan pada akad mudharabah dan musyarakah.

Dalam pembiayaan tersebut ada potensi dana bank akan hilang apabila debitur mengalami kerugian dalam usaha, sehingga yang terjadi bukan bagi hasil namun bagi kerugian.

Sementara itu rate of return risk merupakan potensi risiko larinya dana pihak ketiga ke bank konvensional karena suku bunga yang ada di pasar melebihi imbal hasil yang diberikan bank syariah.

"Itu dapat terjadi karena imbal hasil untuk simpanan pada bank syariah fluktuatif mengikuti kinerja dari pembiayaan, berbeda dengan bank konvensional yang telah mematok bunga tetap untuk dana pihak ketiga," pungkasnya.
(dn/DN/bd-dtc)

Rabu, 19 Oktober 2011

Penerapan manajemen risiko di perusahaan publik masih rendah

JAKARTA. Asosiasi Praktisi Manajemen Resiko (Association of Risk Management Practitioner/ ARMP) menilai manajemen risiko belum dipandang sebagai kebutuhan mendasar perusahaan-perusahaan di Indonesia. Termasuk, perusahaan publik yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia.

Sekretaris Jenderal ARMP Deddy Jacobus menuturkan, AON Global Enterprise Risk Management Survey 2010 menunjukkan level penerapan manajemen resiko oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia masih terbilang rendah dibanding negara lain. Dari lima tingkat level manajemen resiko, Indonesia rata-rata masih pada level 1 dan 2.

"Memang bagus rata-rata sudah punya, tapi levelnya masih di tingkat initiation dan involving. Belum sampai ke tingkat advanced. Enterprise Risk Management perusahaan di Indonesia masih terbatas. Perusahaan yang sudah listing saja masih rendah penerapannya." kata Deddy, Selasa, (19/4).

Ketua ARMP Ridwan Zachrie menambahkan, sebetulnya di sektor perbankan, penerapan manajemen resiko sudah diterapkan secara menyeluruh. Namun, tidak demikian halnya dengan industri non-perbankan. Ini bisa terlihat dari jumlah sertifikat praktisi manajemen resiko yang dimiliki di sektor perbankan jauh lebih banyak daripada non-perbankan. "Di sektor perbankan sudah mencapai ribuan penerima sertifikat namun di sektor non-perbankan baru puluhan," kata Ridwan.

Ridwan tak menampik bahwa tingginya biaya proses memperoleh sertifikat manajemen resiko, menjadi kendala penerapan manajemen resiko yang menyeluruh di suatu perusahaan. Sekedar informasi, saat ini ada dua sertifikasi berstandar internasional yang digunakan ARMP, yaitu Certified Practising Risk Managerdan Certified Risk Manager Technisian. Keduanya diterbitkan oleh Risk Management Institute Australia.

Ke depan, ARMP berencana menerbitkan sertifikasi dengan muatan lokal namun berstandar internasional. ARMP juga ingin mengusulkan kepada para regulator agar membuat aturan lebih ketat soal manajemen resiko. "Kami ingin menyampaikan usulan kepada Bapepam-LK dan perusahaan-perusahaan BUMN agar bisa menerapkan manajemen resiko secara menyeluruh. Kami berharap tahun ini sudah didapat komitmen awal dari pihak-pihak terkait," imbuh Ridwan.



Sumber : http://investasi.kontan.co.id/v2/read/investasi/65307/Penerapan-manajemen-risiko-di-perusahaan-publik-masih-rendah-

Pentingnya Manajemen Risiko


Risiko selalu ada dalam setiap investasi, sekecil apapun bobot risiko itu. Investasi di deposito seringkali disebut sebagai bentuk investasi yang bebas risiko. Faktanya, semua tahu ada bank yang tampak seperti sehat ternyata memiliki masalah. Ada bank yang bangkrut dan pailit sehingga dana nasabah terkatung-katung. Masih ingat ketika Bank Summa dilikuidasi? Juga ketika banyak bank ’’dibredel’’ pemerintah saat terjadi krisis moneter. 
Meskipun kini ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menjamin keamanan dana nasabah perbankan, tapi itu tidak lantas menghapus seratus persen risiko yang ada di perbankan karena dana yang dijamin juga memiliki batasan tertentu. Pendek kata, selalu ada risiko di mana pun Anda melakukan investasi. Persoalannya, bagaimana menyikapi adanya risiko itu? Bagaimana mengantisipasi agar risiko tidak terjadi atau bisa terhindar dari risiko yang ada? Apakah investor harus berdiam diri saja, tidak melakukan apa-apa jika sewaktu-waktu risiko datang? 
Disinilah pentingnya arti sebuah manajemen risiko. Ketika terjadi krisis keuangan global pada semester dua 2008 lalu, ada perusahaan atau fund manager yang mampu bertahan tapi ada juga yang tidak berdaya. Dampak dari munculnya sebuah risiko bisa berbeda terhadap perusahaan satu dengan perusahaan lain, atau investor satu dengan investor lainnya. Bagi perusahaan yang menerapkan manajemen risiko dengan baik, dipastikan selamat dan terus eksis hingga kini. Sebaliknya, perusahaan yang tidak menerapkan manajemen risiko dengan baik maka ia menghadapi masalah besar. 
Apa yang dimaksud dengan manajemen risiko ? Definisinya cukup beragam. Namun, intinya adalah bagaimana mengenal dan mengelola   risiko sehingga risiko apapun yang ada tidak akan mempengaruhi kondisi dan pertumbuhan perusahaan. Bahasa sederhananya : sediakan payung sebelum hujan. 
Gambarannya begini : Jika Anda naik motor maka jangan lupa memakai helm karena helm akan melindungi kepala Anda dari efek yang ditimbulkan akibat benturan karena motor terjatuh atau tabrakan.
Sebuah kamus menejemen menyebutkan manajemen risiko adalah suatu pendekatan terstruktur/metodologi dalam mengelola ketidakpastian yang berkaitan dengan ancaman. Ia rangkaian aktivitas manusia termasuk penilaian risiko, pengembangan strategi untuk mengelolanya danmitigasi risiko dengan menggunakan pemberdayaan/pengelolaan sumberdaya.
Strategi yang dapat diambil antara lain adalah memindahkan risiko kepada pihak lain, menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko tertentu. Manajemen risiko tradisional terfokus pada risiko-risiko yang timbul oleh penyebab fisik atau legal (seperti bencana alam atau kebakaran, kematian, serta tuntutan hukum). Manajemen risiko keuangan, di sisi lain, terfokus pada risiko yang dapat dikelola dengan menggunakan instrumen-instrumen keuangan. 
Untuk kebutuhan investasi, manajemen risiko sangat penting untuk diterapkan. Tanpa adanya manajemen risiko yang baik, investor bisa salah arah dalam membuat kebijakan investasinya. Contoh sederhananya begini. Dalam manajemen investasi selalu disarankan untuk mengurangi risiko melalui diversifikasi investasi. Misalnya, tidak hanya investasi di saham, tapi juga di obligasi atau reksadana. Nah, jika investor tidak menerapkan manajemen risiko dengan baik maka bisa jadi ia hanya terfokus pada satu jenis instrument investasi, tidak ada diversifikasi.  Sikap seperti ini sangat berisiko bagi investor. (Tim BEI)

Manajemen Risiko dalam Investasi


Rabu, 18 Mei 2011 , 08:12:00
APA yang dimaksud dengan manajemen risiko? Definisinya cukup beragam. Namun, intinya adalah bagaimana mengenal dan mengelola ketidakpastian sehingga apapun yang terjadi tidak akan berpengaruh signifikan, terhadap kondisi dan pertumbuhan perusahaan. Dalam dunia investasipun apalagi investasi surat berharga seperti saham dan atau obligasi, ketidakpastian yang berkaitan dengan eksternal perusahaan seperti kondisi ekonomi maupun sentimen pasar ataupun ketidakpastian yang berkaitan dengan internal perusahaan sangat penting. Sayangnya masih ada sebagian orang yang menganggap bahwa manajemen risiko hanya perlu diterapkan pada (instrument) investasi yang sudah dilakukan. Dalam banyak kasus, yang menjadi pemicu kebangkrutan sebuah perusahaan atau investor, bukan pada jenis instrument investasi yang dilakukan, melainkan pada prilaku atau pola investasi yang berisiko. Masalahnya bagaimana dengan pola investasi? Misalnya, seorang investor yang hanya mampu melakukan transaksi Rp100 juta, ternyata ia diberi fasilitas margin hingga melakukan transaksi sampai Rp400 juta. Dari sisi investor maupun dari sisi pemberi fasilitas margin, jelas prilaku seperti ini mengabaikan prinsip manajemen risiko.Beberapa kasus di pasar modal memperlihatkan betapa manajemen risiko tidak diterapkan dengan baik dan benar. Misalnya, perusahaan efek membiarkan nasabahnya melakukan transaksi short selling, menerima order tanpa mengkonfirmasi kemampuan nasabah, memberikan fasilitas margin di luar batas kemampuan dan sebagainya. (tim BEI)